Ketika Hidayah Islam Merengkuh Jiwaku
Namaku
Erlina, aku ingin berbagi cerita kepada saudariku muslimah, bukan untuk
mengajarkan tentang fiqih atau hadits atau hal lainnya yang mungkin
ukhti muslimah telah jauh lebih dulu mengetahuinya daripada aku sendiri.
Karena di masa lalu, aku beragama Kristen…
Setelah lulus SMA, aku meneruskan kuliah di FKG UGM. Dan seperti sebelum-sebelumnya, aku kembali aktif di kegiatan keagamaan (Kristen). Kali ini aku mengikuti kegiatan persekutuan mahasiswa di FKG dan di tingkat UGM. Aku sangat senang dan menikmati kegiatanku tersebut saat itu. Bermacam-macam aktifitas, perayaan Natal, Paskah, panitia lomba vokal grup lagu gerejawi dan lainnya aku ikuti. Aku sering mengajak teman-teman-teman satu kos untuk menyanyi bersama lagu-lagu gerejawi di kos, berdiskusi pemahaman kitab dan lainnya.
Ternyata keaktifanku dalam kegiatan keagamaan ini semakin masuk ke dalam ketika aku diajak bergabung dengan pelayanan “Para Navigator”. Pesertanya sebagian besar mahasiswa. Di sini kami belajar banyak hal tentang kekristenan, dibimbing oleh pembimbing rohani dalam satu kelompok, mengadakan diskusi pemahaman Alkitab setiap minggu dengan menggunakan buku panduan seperti kurikulum yang bertingkat dari dasar ke tingkat tinggi. Di sini kami juga diajarkan dan diminta untuk menghafal ayat-ayat Alkitab –dengan diberikan panduan berupa kartu yang berisi ayat untuk dihafalkan-, dan setiap minggu harus bertambah ayat yang kami hafal. Akhirnya aku dapat menyelesaikan paket kurikulum dan diminta membimbing anak rohani. Metode pelayanan ini biasa dikenal dengan metode sel, belajar berkelompok, kemudian berkembang dengan masing-masing anggota yang akan memiliki anak-anak lain untuk dibimbing, sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya akan berkembang dan bertambah banyak. Dalam pelayanan ini, terkadang kami pun diajarkan dan dianjurkan untuk berdakwah mengajak orang lain mengenal dan mengikuti ajaran Kristen.
Entah mengapa, setelah aku masuk stase (tingkatan) klinik, mulai ada beberapa teman (muslim) yang mendekati dan ingin memperkenalkan Islam kepadaku. Reaksiku? Jelas marah dan kutolak mentah-mentah. Pernah juga aku dipinjami Al-Qur’an dan diminta untuk membacanya oleh seorang teman. Sungguh aku sangat marah terhadapnya sampai-sampai aku tak ingin berbicara dengannya.
Waktu itu kami tercengang, heran namun akhirnya tersenyum mengerti bahwa sebenarnya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh sang pendeta. Padahal kejadian nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam gua selama tiga hari tiga malam mestinya lebih bisa menjawab ramalan tersebut.
Ah, saudariku… sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang kami diskusikan saat itu. Kiranya ini cukup untuk menggambarkan diskusi yang terjadi saat itu. Pertanyaan-pertanyaan kami bukanlah pertanyaan yang berat yang berkaitan dengan akidah. Bukan tentang trinitas ataupun ketuhanan Yesus. Namun, itupun banyak yang tidak terjawab. Dan dalam diskusi ini, A tidak pernah mendebat dengan dalil-dalil Islam, Al-Qur’an dan hadits. Sehingga memang terkesan bahwa kami berdua sedang berguru kepada pendeta tersebut.
Kami tidak pernah berdebat, menyalahkan atau mempermalukan beliau. Kami tetap hormat, dan pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan berkesan layaknya konfirmasi, “Apakah ini benar”, “Mengapa seperti ini”, dan semacamnya, kemudian menilai jawaban yang pendeta tersebut berikan. Dan jika kami tahu sebenarnya beliau tidak dapat menjawab pertanyaan kami, dan tampak jawabannya dipaksakan, tidak logis (seperti tentang ramalan tiga hari tiga malam), maka kami hanya tersenyum dan tidak memperpanjang pembahasan hal tersebut. Saat itu, pendeta tersebut menganjurkan agar kami membaca buku karangan seorang Pastor yang berjudul Gelar-Gelar Yesus. Namun, aku malah mendapati, si pengarang justru mengatakan bahwa di Alkitab tidak ada yang secara langsung menyebutkan bahwa Yesus itu Tuhan dan dia tidak pernah menyatakan diri sebagai Tuhan. Sehingga anjuran ini justru menjadi semakin menambah pertanyaanku dan memperbesar keraguanku akan iman Kristen.
***
Suatu ketika, A mengajukan suatu ayat dalam Alkitab yang mengatakan, ”Jangan sampai kita sudah setiap hari menyeru ‘Tuhan-Tuhan,’ tetapi tidak selamat seperti yang tertulis dalam Injil.”
Kata-kata ini terpatri dalam benakku. Malam harinya, aku mencari ayat itu dalam Alkitab dan menemukannya, yaitu pada Matius 7:21, yang isinya, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga.”
Aku termenung seakan-akan tak percaya yang aku baca. Perlahan-lahan ‘ku tutup Alkitab yang sedang kubaca tersebut.
Keesokan harinya dan hari-hari sesudahnya terasa seperti hari penuh perenungan untuk pikiran dan benakku. Walaupun aku (berusaha) beraktifitas seperti biasa, namun pikiranku tidak tenang memikirkan ayat tersebut. Untuk meyakinkan diriku, ‘ku baca kembali ayat tersebut berulang-ulang, namun ternyata aku justru menjadi ketakutan setelah memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Sepertinya ayat ini sangat berkaitan dengan apa yang telah aku lakukan selama ini, dan aku takut ternyata aku termasuk yang pada akhirnya tidak masuk surga. Jangan-jangan apa yang kulakukan selama ini walaupun dengan kecintaan dan kesungguhan dan penuh perjuangan adalah hal sia-sia.
Sejak itu, aku mulai tertarik dengan Islam dan menjadikannya alternatif pengganti agamaku. Aku mulai bekerja di luar kota Yogyakarta di sebuah Puskesmas di Banjarnegara. Sendirian… tanpa sanak saudara ataupun teman dekat dan sahabat yang dapat kuajak diskusi tentang Islam. Aku belajar tentang Islam dari pengajian-pengajian masjid di desa yang terdengar dari pengeras suara atau acara desa dan kecamatan yang biasanya terdapat sentilan tentang ajaran Islam. Dan tentu saja tak ketinggalan, aku belajar dari diskusi yang sangat sangat banyak dengan A.
Sampai pada akhirnya, A menawarkanku untuk masuk Islam, dan akupun menyetujuinya walaupun tidak langsung melaksanakannya. Aku masih terus berdiskusi, belajar dan berpikir sehingga aku benar-benar merasa yakin dan mantap untuk memeluk agama Islam. Dan ketika keyakinan ini bertambah kuat, aku merasa ada kebutuhan mendesak yang harus kulakukan, yaitu aktifitas menyembah Allah. Rasanya keyakinanku akan sia-sia dan terasa hampa jika tidak ada aktifitas ibadah yang harus aku lakukan untuk menyembah Allah. Namun, aku sama sekali belum bisa cara beribadah yang ada pada Islam.
Dengan melihat orang sholat di televisi dan memperhatikan teman sholat, akhirnya aku berusaha meniru gerakan sholat. Tentu saja segala sesuatunya masih kacau saat itu. Dengan hanya memakai piyama tidur (tanpa tahu ada aturan harus menutup seluruh aurat saat shalat) menggelar selimut untuk dijadikan sajadah, dan berdiri tidak mengetahui harus menghadap kemana, aku sholat. Ya! Aku sholat! Hanya dengan tiga kalimat yang aku ketahui, bismillahirrahmanirrahim, allahu akbar, dan alhamdulillah dan dengan gerakan yang tanpa urutan dan aturan. Rasanya melegakan karena aku melepaskan keinginan untuk menyembah satu Ilah dan hanya Ilah inilah yang harus aku sembah. Aku lakukan ini berkali-kali tanpa diketahui oleh siapapun. Aku masih belum mengetahui tentang pembagian sholat yang lima waktu. Aku masih sendirian saat itu, menjadi kepala Puskesmas, dan aku pun masih merahasiakan statusku dari siapapun termasuk staf di kantor bahkan Si A tidak tahu kalau aku melakukan sholat karena aku masih malu, takut dan masih menutup diri. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengajariku.
Sampailah waktunya…
Aku dan A memberanikan diri datang kepada orangtuaku. Di situ, A mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam kepada orangtuaku. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Kekagetan luar biasa, marah, tidak percaya mengelegak keluar. Orangtua memintaku mengutarakan sendiri hal tersebut, dan aku pun mengatakan hal yang sama, “Aku ingin masuk Islam.” Mereka tetap tidak percaya dan memintaku memikirkannya kembali. Aku kembali ke Banjarnegara dan A juga kembali ke Jakarta tempat ia bekerja.
Beberapa waktu kemudian, Bapak, Ibu dan adikku menemuiku di Banjarnegara. Menanyakan kembali keputusan akhirku. Saat itu, aku meminta A menemaniku, karena aku dalam kondisi sangat takut dan kalut. Jawabanku pun tetap sama, “Aku ingin masuk Islam.”
Betapa orangtuaku marah mendengarnya. Sebuah kemarahan yang aku belum pernah menyaksikan sebelumnya. Ibu berkata, “APA KAMU SANGGUP MENGHIANATI YESUS!!! TEGANYA ENGKAU DENGAN YESUS!!!”
Rasanya hatiku teriris mendengar teriakan marah dan kekecewaan yang luar biasa dari kedua orangtuaku tersebut. Aku pun memahami jika akan seperti ini, karena seluruh keluarga besar beragama Kristen dan hampir seluruhnya adalah aktivis-aktivis gereja, sering berkhotbah di gereja. Tidak ada satupun yang beragama lain. Dan… aku yang diperkirakan juga akan mengabdi dengan sesungguhnya pada agama Kristen ternyata menjadi orang pertama yang masuk ke agama Islam. Tentu ini hal yang sangat berat terutama untuk kedua orangtuaku. Anggapan-anggapan negatif baik dari pihak keluarga, jemaat gereja, keluarga besar lainnya tentu akan datang bertubi-tubi menekan mereka. Dengan keputusanku yang tidak berubah ini, akhirnya hubunganku dengan keluarga menjadi agak renggang.
Derai air mata sejak itu masih terus mengalir. Aku sempat ragu ketika mengingat perkataan ibuku,
“Sanggupkah engkau mengkhianati Yesus.”
“Tegakah pada Tuhan Yesus.”
Pikiranku terus berkecamuk, ‘Benarkah itu? Benarkah aku harus menyembah Yesus? Benarkah jika aku memeluk Islam, Yesus akan marah?’ Berkutat pada kebimbangan antara perkataan orangtuaku dan apa yang telah kupelajari dalam Islam. Dalam puncak kebingunganku, aku bermimpi…
Aku hendak pergi tidur. Tiba-tiba… terdengar ketukan dari jendela kayu yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Kubuka jendela tersebut dan aku kaget karena ternyata di depanku ada sesosok Yesus (wajahnya memang tidak jelas, namun berjubah dan dalam mimpi itu aku dipahamkan bahwa itu adalah Yesus). Sosok itu tidak berbicara apa-apa namun tampak seperti tersenyum, tidak marah dan mengulurkan tangannya (seperti) hendak menyalamiku. Sosok tersebut tidak berbicara namun aku dipahamkan bahwa maksud beliau adalah mengucapkan selamat kepadaku. Setelah itu sosok tersebut berlalu.
Aku pun terbangun dalam keadaan bingung dan takut. ‘Apa maksud mimpi ini?’ pikirku. Apakah ini suatu tanda bahwa pilihanku benar.
Waktupun berlalu dan aku semakin mengokohkan keputusanku untuk memeluk agama Islam. A yang hampir selalu hadir dalam perjalananku menggapai hidayah Islam ini akhirnya melamarku. Alhamdulillah… akhirnya orangtuaku pun mengizinkan kami menikah. Hubungan kami dengan keluargaku sudah baik kembali sampai saat ini. Kami menikah dengan wali dari KUA. Rasa haru dan bahagia menyelimutiku saat itu. Setelah menikah, aku langsung minta dibelikan mukena dan minta diajarkan shalat. Dan A terus mendampingiku dan mengajarkanku shalat lima waktu. Sampai aku telah dapat melakukan shalat sendiri, A baru bisa menjalankan kewajibannya untuk shalat di masjid.
Sejak kecil aku beserta kedua adikku dididik
secara kristen oleh kedua orangtuaku, bahkan aku telah dibaptis ketika
masih berumur 3 bulan dan saat berusia 18 tahun aku telah menjalani
sidhi, yaitu pengakuan setelah seseorang dewasa tentang kepercayaan akan
iman kristen di depan jemaat gereja. Aku juga selalu membaca Alkitab
dan membaca buku renungan –semacam buku kumpulan khotbah– bersama
keluargaku di malam hari. Seluruh keluargaku beragama Kristen dan
termasuk yang cukup taat dan aktif. Bahkan dari keluarga besar ayah,
seluruhnya beragama Kristen dan sangat aktif di gereja sehingga menjadi
pemuka dan pengurus gereja. Sedang dari keluarga ibu, nenekku dulunya
beragama Islam, namun kemudian beralih menjadi Katholik.
Sejak kecil aku adalah anak yang sangat aktif
dalam kegiatan keagamaan. Tentu saja kegiatan keagamaan yang aku anut
saat itu beserta keluarga besarku. Kecintaanku pada agama Kristen
demikian kuat mengakar dan terus bertambah kuat seiring pertumbuhanku
menjadi wanita dewasa. Sedari kecil aku sangat rajin ikut Sekolah Minggu,
bahkan hampir tidak pernah absen. Aku selalu ingin mendengarkan cerita
agama Kristen atau cerita dari Alkitab di Sekolah Minggu. Setiap
pelajaran Sekolah Minggu kucatat dalam sebuah buku khusus. Cerita-cerita
tersebut kuhafal sampai detail, sehingga setiap perayaan Paskah dan
Natal aku selalu menjadi juara lomba cerdas tangkas Sekolah Minggu.
Pernah suatu ketika, karena aku sering sekali menang, seorang juri
memberikan tes tersendiri. Hal ini untuk memastikan bahwa aku layak
mendapatkan juara pertama, apalagi saat itu aku masih lebih muda dari
peserta dan juara lainnya. Ternyata aku bisa menjawab pertanyaan juri
tersebut. Akhirnya aku tetap mendapatkan hadiah, namun hadiah khusus di
luar juara satu sampai tiga. Kebijakan ini untuk memberikan kesempatan
pada peserta lain untuk menjadi pemenang.
Ketika aku menginjak usia SMP dan SMA, aku tetap aktif dalam kegiatan
persekutuan remaja dan pemuda di sekolah. Aku juga aktif di tingkat
yang lebih besar yaitu kegiatan persekutuan antar siswa Kristen dari
sekolah-sekolah se-kota Magelang, juga persekutuan remaja di gereja.
Bahkan aku juga ditunjuk menjadi ketua persekutuan remaja di gereja.
Setiap minggu aku disibukkan dengan kegiatan persekutuan, mempersiapkan
acara, topik, pembicara, membuat undangan dan menyebar undangan. Aku
tidak pernah bosan mengundang rekan-rekan untuk hadir. Walaupun aku tahu
ada di antara mereka yang malas hadir, aku tetap memberikan undangan
kepada mereka. Betapa semangatnya aku saat itu…Setelah lulus SMA, aku meneruskan kuliah di FKG UGM. Dan seperti sebelum-sebelumnya, aku kembali aktif di kegiatan keagamaan (Kristen). Kali ini aku mengikuti kegiatan persekutuan mahasiswa di FKG dan di tingkat UGM. Aku sangat senang dan menikmati kegiatanku tersebut saat itu. Bermacam-macam aktifitas, perayaan Natal, Paskah, panitia lomba vokal grup lagu gerejawi dan lainnya aku ikuti. Aku sering mengajak teman-teman-teman satu kos untuk menyanyi bersama lagu-lagu gerejawi di kos, berdiskusi pemahaman kitab dan lainnya.
Ternyata keaktifanku dalam kegiatan keagamaan ini semakin masuk ke dalam ketika aku diajak bergabung dengan pelayanan “Para Navigator”. Pesertanya sebagian besar mahasiswa. Di sini kami belajar banyak hal tentang kekristenan, dibimbing oleh pembimbing rohani dalam satu kelompok, mengadakan diskusi pemahaman Alkitab setiap minggu dengan menggunakan buku panduan seperti kurikulum yang bertingkat dari dasar ke tingkat tinggi. Di sini kami juga diajarkan dan diminta untuk menghafal ayat-ayat Alkitab –dengan diberikan panduan berupa kartu yang berisi ayat untuk dihafalkan-, dan setiap minggu harus bertambah ayat yang kami hafal. Akhirnya aku dapat menyelesaikan paket kurikulum dan diminta membimbing anak rohani. Metode pelayanan ini biasa dikenal dengan metode sel, belajar berkelompok, kemudian berkembang dengan masing-masing anggota yang akan memiliki anak-anak lain untuk dibimbing, sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya akan berkembang dan bertambah banyak. Dalam pelayanan ini, terkadang kami pun diajarkan dan dianjurkan untuk berdakwah mengajak orang lain mengenal dan mengikuti ajaran Kristen.
Entah mengapa, setelah aku masuk stase (tingkatan) klinik, mulai ada beberapa teman (muslim) yang mendekati dan ingin memperkenalkan Islam kepadaku. Reaksiku? Jelas marah dan kutolak mentah-mentah. Pernah juga aku dipinjami Al-Qur’an dan diminta untuk membacanya oleh seorang teman. Sungguh aku sangat marah terhadapnya sampai-sampai aku tak ingin berbicara dengannya.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan dia –sebut
saja A– yang alhamdulillah kini telah menjadi suamiku. Kalau teman-teman
lain ingin memperkenalkan Islam dengan cara langsung dengan Al-Qur’an
dan hal-hal lainnya yang jelas-jelas berbau Islam, maka A mengenalkan
Islam dari sisi yang beraroma Kristen. Dan aku sangat antusias saat itu.
Apalagi ia menyatakan bahwa jika Kristen lebih benar dari Islam, maka
dia akan mengikuti agama Kristen. Kesempatan emas! Pikirku. A juga
banyak bertanya tentang Bible, bahkan ia katakan telah tamat membaca
Alkitab Perjanjian Baru sebanyak tiga kali! Aku pikir, orang ini
benar-benar tertarik akan agama Kristen. Aku saja belum pernah membaca
dari awal hingga akhir kitab tersebut secara berurutan. Aku semakin
bersemangat saat itu. Banyak yang dia ketahui tentang Alkitab Kristen
dan tentang Kristen. Ternyata sejak kecil ia bersekolah di sekolah
Katholik dan mempelajari agama Katholik serta sejarahnya, dan ketika ia
kuliah di UGM, ia juga terkadang berkunjung ke toko buku Kristen untuk
membaca.
Namun, yang terjadi selanjutnya ternyata di luar dugaanku. A memang
banyak tahu tentang agamaku, namun ia juga memiliki pengetahuan tentang
Islam. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan olehnya dan berkaitan
dengan agamaku, yang terkadang pertanyaan itu begitu mudah, namun aku
sangat kesulitan menjawabnya. Diskusi-diskusi yang kami lakukan membuat
kami menjadi dekat. Aku pun telah lulus kuliah dan bekerja. Begitu pula
A, hanya saja dia bekerja di Jakarta. Namun, kami masih terus
melanjutkan diskusi tentang agama Kristen yang telah kami lakukan
sebelumnya. Ya… masih berlanjut seperti itu, pengenalan tentang agama
Islam yang dilakukan dengan cara tidak langsung.
Dari diskusi-diskusi itulah ia terkadang
memasukkan sentilan Islam secara tidak langsung dan tidak aku sadari
(karena pertanyaan dan hal-hal yang didiskusikan sebenarnya telah jelas
jawabannya di Islam). Banyak bentrok di antara kami dalam diskusi
tersebut. Kadang bahkan membuat aku marah, menangis, jengkel. Namun
diskusi itu terus berlanjut. Masih ada rasa penasaran, jengkel dan marah
yang berbaur menjadi satu. Namun… banyak sekali pertanyaan darinya yang
tidak bisa aku jawab. Akhirnya A mengusulkan agar meminta pendeta yang
ahli untuk diajak diskusi bersama. Wah!! Betapa senangnya aku mendengar
sarannya itu. Orang ini benar-benar bersemangat belajar Kristen. Aku
sangat berharap akhirnya nanti dia bisa beragama Kristen. Rasanya
bahagia jika aku berhasil membuat ia mengikuti iman Kristen.
Dengan sebab tersebut, aku mencari dan menghubungi pendeta yang
terkenal, senior dan sangat berkualitas di Jogja. Sebut saja pendeta X.
Aku berharap pendeta X dapat membantuku ‘memberi pelajaran’ tentang
Kristen kepada A. Keluargaku pun ikut bersemangat dan sangat mendukung
rencanaku ini. Saat itu, aku bersyukur bapak pendeta ini mau dan
bersedia membantu rencanaku. Akhirnya, kami melakukan diskusi bertiga.
Keadaannya saat itu, bukanlah sebagaimana seseorang yang ingin saling
berdebat antar agama. Tidak. Kondisi saat itu, baik A maupun aku
sama-sama sebagai orang yang belajar dan mencari kebenaran. Walaupun
tidak ada pernyataan sebagaimana yang A lakukan bahwa jika Islam lebih
benar aku akan mengikuti agamanya.
Mulailah kami berdiskusi setiap pekan di hari Sabtu. Beberapa pertanyaan yang A ajukan antara lain adalah:
Kapan dan bagaimana cara Yesus berpuasa? Mengapa orang Kristen tidak berpuasa?
Tentang penghapusan hukum Taurat (Yesus menolak membasuh tangan sebelum masuk rumah).
Benarkah kisah yang menceritakan Yesus berdoa dengan bersujud? Dan bagaimana orang Kristen berdoa saat ini? Dahulu, orang Yahudi termasuk Yesus dikhitan. Mengapa orang Kristen sekarang tidak? Pendeta menjawab, orang Kristen ada yang berkhitan tapi bukan untuk mengikuti hukum Tuhan (Taurat), tetapi untuk alasan kesehatan.
Mengapa orang Kristen tidak mengenal najis? Padahal hal najis di
Taurat lebih berat daripada hukum Islam. Pendeta menjawab, dalam Kristen
hal itu tidak perlu karena di dalam tubuh kita juga ada najis.Tentang penghapusan hukum Taurat (Yesus menolak membasuh tangan sebelum masuk rumah).
Benarkah kisah yang menceritakan Yesus berdoa dengan bersujud? Dan bagaimana orang Kristen berdoa saat ini? Dahulu, orang Yahudi termasuk Yesus dikhitan. Mengapa orang Kristen sekarang tidak? Pendeta menjawab, orang Kristen ada yang berkhitan tapi bukan untuk mengikuti hukum Tuhan (Taurat), tetapi untuk alasan kesehatan.
Apakah surga itu bertingkat-tingkat menurut Kristen?
Pendeta menjawab, “Tidak, dalam Kristen surga tidak bertingkat-tingkat.”
Lalu kami bertanya, “Mengapa dalam injil dikatakan ada surga rendah dan surga tinggi?”
Terdapat ramalan dalam Alkitab tentang kedatangan anak manusia ‘Ia
akan berada di perut bumi tiga hari tiga malam’ seperti kejadian nabi
Yunus di dalam perut ikan. Siapakah dia?Pendeta menjawab, “Tidak, dalam Kristen surga tidak bertingkat-tingkat.”
Lalu kami bertanya, “Mengapa dalam injil dikatakan ada surga rendah dan surga tinggi?”
Pendeta menjawab, “Jelas ramalan untuk Yesus setelah kematian di kayu salib dan dikubur di gua.”
Akhirnya kami bertiga sama-sama menghitung. Dan berkali-kali, hasil perhitungan itu adalah dua hari dua malam atau maksimal adalah tiga hari dua malam dengan konsekuensi memasukkan hari minggu sebagai satu hari penuh, padahal minggu pagi –sebelum matahari terbit- , kubur Yesus telah kosong. Karena perhitungan tersebut tidak cocok dengan ramalan tiga hari tiga malam, pertanyaan tersebut ditunda untuk didiskusikan pekan berikutnya.
Saat kami datang pekan berikutnya, pendeta sudah memiliki jawaban, yaitu perhitungan hari orang Yahudi berbeda dengan kita.Akhirnya kami bertiga sama-sama menghitung. Dan berkali-kali, hasil perhitungan itu adalah dua hari dua malam atau maksimal adalah tiga hari dua malam dengan konsekuensi memasukkan hari minggu sebagai satu hari penuh, padahal minggu pagi –sebelum matahari terbit- , kubur Yesus telah kosong. Karena perhitungan tersebut tidak cocok dengan ramalan tiga hari tiga malam, pertanyaan tersebut ditunda untuk didiskusikan pekan berikutnya.
Waktu itu kami tercengang, heran namun akhirnya tersenyum mengerti bahwa sebenarnya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh sang pendeta. Padahal kejadian nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam gua selama tiga hari tiga malam mestinya lebih bisa menjawab ramalan tersebut.
Ah, saudariku… sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang kami diskusikan saat itu. Kiranya ini cukup untuk menggambarkan diskusi yang terjadi saat itu. Pertanyaan-pertanyaan kami bukanlah pertanyaan yang berat yang berkaitan dengan akidah. Bukan tentang trinitas ataupun ketuhanan Yesus. Namun, itupun banyak yang tidak terjawab. Dan dalam diskusi ini, A tidak pernah mendebat dengan dalil-dalil Islam, Al-Qur’an dan hadits. Sehingga memang terkesan bahwa kami berdua sedang berguru kepada pendeta tersebut.
Kami tidak pernah berdebat, menyalahkan atau mempermalukan beliau. Kami tetap hormat, dan pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan berkesan layaknya konfirmasi, “Apakah ini benar”, “Mengapa seperti ini”, dan semacamnya, kemudian menilai jawaban yang pendeta tersebut berikan. Dan jika kami tahu sebenarnya beliau tidak dapat menjawab pertanyaan kami, dan tampak jawabannya dipaksakan, tidak logis (seperti tentang ramalan tiga hari tiga malam), maka kami hanya tersenyum dan tidak memperpanjang pembahasan hal tersebut. Saat itu, pendeta tersebut menganjurkan agar kami membaca buku karangan seorang Pastor yang berjudul Gelar-Gelar Yesus. Namun, aku malah mendapati, si pengarang justru mengatakan bahwa di Alkitab tidak ada yang secara langsung menyebutkan bahwa Yesus itu Tuhan dan dia tidak pernah menyatakan diri sebagai Tuhan. Sehingga anjuran ini justru menjadi semakin menambah pertanyaanku dan memperbesar keraguanku akan iman Kristen.
***
Setelah diskusi berlangsung beberapa kali,
pendeta tersebut minta maaf karena tidak bisa melanjutkan diskusi lagi
karena akan pergi ke luar negeri selama beberapa waktu. Beliau
merekomendasikan dua orang pendeta untuk menggantikan posisi beliau
selama beliau tidak ada. Pendeta pertama adalah seorang yang dulunya
beragama Islam namun keluar (murtad) dari agama Islam dan menjadi
pendeta. Saat kami mendatangi rumah pendeta ini, dari pembicaraan
dengannya terkesan bahwa beliau menolak dan menghindar dengan alasan
yang tidak jelas. Pendeta kedua adalah seorang doktor teologia ahli
perbandingan agama dan memiliki kedudukan yang cukup tinggi di sebuah
universitas. Karena kesibukan dan kedudukan beliau inilah, kami agak
kesulitan menemui beliau. Ketika akhirnya kami berhasil menemuinya,
ternyata beliau keberatan dan tidak bersedia berdiskusi bersama kami
dengan alasan sibuk. Pendeta kedua ini menyarankan agar kami kembali
berdiskusi dengan pendeta X. Karena proses diskusi ini (yang tadinya aku
berharap begitu banyak para pendeta ini dapat memberi pelajaran pada A)
ternyata sedikit terhambat, akhirnya aku mendatangi pendeta X seorang
diri. Aku menceritakan semua hal berkenaan dengan latar belakang diskusi
ini dan aku memohon kepada beliau untuk membantuku meneruskan proses
diskusi dengan A. Sayangnya… ternyata beliau menolak permintaanku dengan
alasan yang tidak jelas –bahkan bisa dikatakan tanpa alasan-.
Sebagaimana harapan besar lainnya – yang jika tertumpu pada seseorang
namun ternyata tidak dipenuhi oleh orang tersebut-, maka kekecewaan yang
besar pun kurasakan waktu itu. Ketika aku pamit pulang, pendeta
tersebut masih sempat berpesan kepadaku,
“Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu menikah dengan dia (A).
Kalau dia tidak mau masuk agama Kristen, pertahankan imanmu (iman
Kristen).”
Gundah, bingung, sedih, dan kekecewaan yang
menumpuk, semua bergumul menjadi satu setelah mendapat berbagai
penolakan dari pihak-pihak yang aku harapkan dapat membantuku memberi
penjelasan tentang agama Kristen ini kepada A. Bahkan pihak-pihak ini
adalah orang yang kuanggap pakar dan ahli sehingga dapat membantuku
menjawab dan menjelaskan tentang agama Kristen kepada A. Aku pun
merasakan sesuatu yang janggal dari pesan terakhir dari pendeta X. Aku
simpulkan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki argumen dan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan aku merasakan bahwa ada sesuatu
yang kurang dari agama ini (Kristen).
Sejak itulah, aku berusaha melihat dan menilai Islam dan Kristen
sebagai dua agama yang sejajar kedudukannya, dan aku berusaha berada
pada posisi netral seakan-akan sedang menjadi juri untuk keduanya. Berat
dan tertekan. Itu yang aku rasakan ketika harus bergumul dan berusaha
keras untuk melepaskan diri dari doktrin Kristen. Doktrin yang telah aku
cintai sejak kecil dan telah kuikat secara sungguh-sungguh. Namun, dari
sinilah aku mulai membuka diri dengan selain Kristen. Aku baru bisa
mulai mempelajari seperti apa Islam sebenarnya. Kesan pertama yang
kudapatkan dalam penilaianku adalah, ‘Apa yang jelek dari Islam?
Kelihatannya ajarannya ok ok saja.’ Sambil melakukan ini, aku tetap
terus membaca Alkitab Kristen.Suatu ketika, A mengajukan suatu ayat dalam Alkitab yang mengatakan, ”Jangan sampai kita sudah setiap hari menyeru ‘Tuhan-Tuhan,’ tetapi tidak selamat seperti yang tertulis dalam Injil.”
Kata-kata ini terpatri dalam benakku. Malam harinya, aku mencari ayat itu dalam Alkitab dan menemukannya, yaitu pada Matius 7:21, yang isinya, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga.”
Aku termenung seakan-akan tak percaya yang aku baca. Perlahan-lahan ‘ku tutup Alkitab yang sedang kubaca tersebut.
Keesokan harinya dan hari-hari sesudahnya terasa seperti hari penuh perenungan untuk pikiran dan benakku. Walaupun aku (berusaha) beraktifitas seperti biasa, namun pikiranku tidak tenang memikirkan ayat tersebut. Untuk meyakinkan diriku, ‘ku baca kembali ayat tersebut berulang-ulang, namun ternyata aku justru menjadi ketakutan setelah memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Sepertinya ayat ini sangat berkaitan dengan apa yang telah aku lakukan selama ini, dan aku takut ternyata aku termasuk yang pada akhirnya tidak masuk surga. Jangan-jangan apa yang kulakukan selama ini walaupun dengan kecintaan dan kesungguhan dan penuh perjuangan adalah hal sia-sia.
Sejak itu, aku mulai tertarik dengan Islam dan menjadikannya alternatif pengganti agamaku. Aku mulai bekerja di luar kota Yogyakarta di sebuah Puskesmas di Banjarnegara. Sendirian… tanpa sanak saudara ataupun teman dekat dan sahabat yang dapat kuajak diskusi tentang Islam. Aku belajar tentang Islam dari pengajian-pengajian masjid di desa yang terdengar dari pengeras suara atau acara desa dan kecamatan yang biasanya terdapat sentilan tentang ajaran Islam. Dan tentu saja tak ketinggalan, aku belajar dari diskusi yang sangat sangat banyak dengan A.
Sampai pada akhirnya, A menawarkanku untuk masuk Islam, dan akupun menyetujuinya walaupun tidak langsung melaksanakannya. Aku masih terus berdiskusi, belajar dan berpikir sehingga aku benar-benar merasa yakin dan mantap untuk memeluk agama Islam. Dan ketika keyakinan ini bertambah kuat, aku merasa ada kebutuhan mendesak yang harus kulakukan, yaitu aktifitas menyembah Allah. Rasanya keyakinanku akan sia-sia dan terasa hampa jika tidak ada aktifitas ibadah yang harus aku lakukan untuk menyembah Allah. Namun, aku sama sekali belum bisa cara beribadah yang ada pada Islam.
Dengan melihat orang sholat di televisi dan memperhatikan teman sholat, akhirnya aku berusaha meniru gerakan sholat. Tentu saja segala sesuatunya masih kacau saat itu. Dengan hanya memakai piyama tidur (tanpa tahu ada aturan harus menutup seluruh aurat saat shalat) menggelar selimut untuk dijadikan sajadah, dan berdiri tidak mengetahui harus menghadap kemana, aku sholat. Ya! Aku sholat! Hanya dengan tiga kalimat yang aku ketahui, bismillahirrahmanirrahim, allahu akbar, dan alhamdulillah dan dengan gerakan yang tanpa urutan dan aturan. Rasanya melegakan karena aku melepaskan keinginan untuk menyembah satu Ilah dan hanya Ilah inilah yang harus aku sembah. Aku lakukan ini berkali-kali tanpa diketahui oleh siapapun. Aku masih belum mengetahui tentang pembagian sholat yang lima waktu. Aku masih sendirian saat itu, menjadi kepala Puskesmas, dan aku pun masih merahasiakan statusku dari siapapun termasuk staf di kantor bahkan Si A tidak tahu kalau aku melakukan sholat karena aku masih malu, takut dan masih menutup diri. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengajariku.
Sampailah waktunya…
Aku dan A memberanikan diri datang kepada orangtuaku. Di situ, A mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam kepada orangtuaku. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Kekagetan luar biasa, marah, tidak percaya mengelegak keluar. Orangtua memintaku mengutarakan sendiri hal tersebut, dan aku pun mengatakan hal yang sama, “Aku ingin masuk Islam.” Mereka tetap tidak percaya dan memintaku memikirkannya kembali. Aku kembali ke Banjarnegara dan A juga kembali ke Jakarta tempat ia bekerja.
Beberapa waktu kemudian, Bapak, Ibu dan adikku menemuiku di Banjarnegara. Menanyakan kembali keputusan akhirku. Saat itu, aku meminta A menemaniku, karena aku dalam kondisi sangat takut dan kalut. Jawabanku pun tetap sama, “Aku ingin masuk Islam.”
Betapa orangtuaku marah mendengarnya. Sebuah kemarahan yang aku belum pernah menyaksikan sebelumnya. Ibu berkata, “APA KAMU SANGGUP MENGHIANATI YESUS!!! TEGANYA ENGKAU DENGAN YESUS!!!”
Rasanya hatiku teriris mendengar teriakan marah dan kekecewaan yang luar biasa dari kedua orangtuaku tersebut. Aku pun memahami jika akan seperti ini, karena seluruh keluarga besar beragama Kristen dan hampir seluruhnya adalah aktivis-aktivis gereja, sering berkhotbah di gereja. Tidak ada satupun yang beragama lain. Dan… aku yang diperkirakan juga akan mengabdi dengan sesungguhnya pada agama Kristen ternyata menjadi orang pertama yang masuk ke agama Islam. Tentu ini hal yang sangat berat terutama untuk kedua orangtuaku. Anggapan-anggapan negatif baik dari pihak keluarga, jemaat gereja, keluarga besar lainnya tentu akan datang bertubi-tubi menekan mereka. Dengan keputusanku yang tidak berubah ini, akhirnya hubunganku dengan keluarga menjadi agak renggang.
Derai air mata sejak itu masih terus mengalir. Aku sempat ragu ketika mengingat perkataan ibuku,
“Sanggupkah engkau mengkhianati Yesus.”
“Tegakah pada Tuhan Yesus.”
Pikiranku terus berkecamuk, ‘Benarkah itu? Benarkah aku harus menyembah Yesus? Benarkah jika aku memeluk Islam, Yesus akan marah?’ Berkutat pada kebimbangan antara perkataan orangtuaku dan apa yang telah kupelajari dalam Islam. Dalam puncak kebingunganku, aku bermimpi…
Aku hendak pergi tidur. Tiba-tiba… terdengar ketukan dari jendela kayu yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Kubuka jendela tersebut dan aku kaget karena ternyata di depanku ada sesosok Yesus (wajahnya memang tidak jelas, namun berjubah dan dalam mimpi itu aku dipahamkan bahwa itu adalah Yesus). Sosok itu tidak berbicara apa-apa namun tampak seperti tersenyum, tidak marah dan mengulurkan tangannya (seperti) hendak menyalamiku. Sosok tersebut tidak berbicara namun aku dipahamkan bahwa maksud beliau adalah mengucapkan selamat kepadaku. Setelah itu sosok tersebut berlalu.
Aku pun terbangun dalam keadaan bingung dan takut. ‘Apa maksud mimpi ini?’ pikirku. Apakah ini suatu tanda bahwa pilihanku benar.
Waktupun berlalu dan aku semakin mengokohkan keputusanku untuk memeluk agama Islam. A yang hampir selalu hadir dalam perjalananku menggapai hidayah Islam ini akhirnya melamarku. Alhamdulillah… akhirnya orangtuaku pun mengizinkan kami menikah. Hubungan kami dengan keluargaku sudah baik kembali sampai saat ini. Kami menikah dengan wali dari KUA. Rasa haru dan bahagia menyelimutiku saat itu. Setelah menikah, aku langsung minta dibelikan mukena dan minta diajarkan shalat. Dan A terus mendampingiku dan mengajarkanku shalat lima waktu. Sampai aku telah dapat melakukan shalat sendiri, A baru bisa menjalankan kewajibannya untuk shalat di masjid.
Perjalananku dalam memahami Islam tentu saja
tidak berhenti sampai di situ. Setelah lima tahun sejak aku masuk ke
dalam agama Islam, aku melanjutkan studi S2 di FK UGM, jurusan Ilmu
Kedokteran Dasar dan Biomedis (minat Histologi dan Biologi Sel) dan aku
seperti tersentak untuk kedua kalinya. Aku baru menyadari dan memahami
betapa Allah mengatur segala sistem dalam tubuh kita dengan begitu rapi,
canggih, teratur, beralasan dan sempurna sampai ke tahap molekuler,
tanpa kita sadari. Aku banyak termenung saat menyadari hal itu, namun
juga menjadikanku banyak bertanya kepada dosen pakar saat itu.
Subhanallah, Dia-lah pencipta, pengatur, pemelihara yang sedemikian rupa
rumitnya. Dan tidak mungkin semua itu berjalan, berproses dan
bermekanisme dengan sendirinya. Mulai saat itulah aku lebih terpacu lagi
untuk belajar dengan membaca dan memahami Al-Qur’an.
Dan proses belajar itu terus berlangsung sampai
sekarang. Dahulu aku telah mengetahui bahwa Allah-lah, Ilah yang
disembah dalam agama Islam. Namun, perlu waktu bertahun-tahun untuk aku
memahami bahwa hanya Allah-lah Ilah yang BERHAK untuk disembah. Dan
pemahaman ini ternyata suatu perkembangan, semakin kita belajar mengenal
Rabb kita, insya Allah semakin bertambahlah pemahaman dan ketauhidan
kita, dan akan semakin sadar bahwa masih banyak sekali hal yang tidak
kita ketahui. Dari proses pembelajaran inilah aku semakin memahami
siapakah Allah yang selama ini aku sembah, mengapa hanya Allah yang
harus aku sembah. Kini aku sedikit lebih paham (karena masih banyak hal
yang belum aku pahami), tentang kekuatan rububiyah Allah (sebagai
pencipta, yang berkuasa) yang melazimkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak
disembah dan mengapa aku tidak boleh mempersekutukan-Nya karena jika
aku melakukan kesyirikan maka ia akan menjadi dosa yang tak terampuni
(jika tidak bertaubat).
Saudariku… agama Islam terlalu tinggi, canggih
dan terlalu sempurna, dengan konsepnya yang sangat jelas, sehingga
agama-agama lain menjadi sangat lemah untuk menjadi pembandingnya,
termasuk agama Kristen yang aku anut dahulu.
***
Kisah di atas
diceritakan langsung oleh Erlina kepada redaksi Muslimah.or.id, dan
redaksi KisahMuslim.com juga mengenal Erlina. Semoga Allah menjaga
hamba-hamba-Nya yang beriman…
Sumber: Artikel KisahMuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar